Monday, 22 May 2017

Review | Film Kartini


Hari Sabtu kemarin, kami 7 ibu-ibu gemes ini ceritanya girls night out gitu, nonton Kartini dong hehehe.. Emang kadang disini tuh suka ditayangin film Indonesia, kalo pas ada organisasi yang niat ngadain. Nah kayaknya pas nih kan, karena minggu depan udah puasaan, sekarang bebasin aja dulu keluar haha hihi.. Terima kasih sekali untuk Bapak2 yang bersedia dititipin jaga anak beberapa jam, cihiiy pas ditinggal Ghani lagi mau bobo, dan pas sampai rumah ternyata dia baru bangun lagi mau dinner. Lumayaan ditinggal kurleb 5 jam, dia bobo 3 jam :D

Sebenernya udah sejak lama gw agak skeptis sih sama perayaan Hari Kartini. Kenapa kok nggak disebut Hari Pahlawan Wanita aja? Padahal kan pahlawan wanita di Indonesia ada banyak sekali. Yang bangun sekolahan dan memperjuangkan pendidikan untuk wanita nggak cuma Kartini lho, belum lagi yang betul-betul angkat senjata kayak Cut Nyak Dien. Tapi ya itu sih cerita lain deh, kalo kali ini kita review film Kartini nya aja dulu.

Dari awal sampe akhir, kayaknya gw seriiing banget nangis pas nonton ini. Mulai dari adegan Kartini kecil yang maksa pengen bobo dikelonin ibu kandungnya (yang dijadikan ART di rumahnya), kesedihan Kardinah waktu dipaksa nikah sama laki-laki beristri, sampai waktu Kartini minta ijin 'pamit' ke ibu kandungnya waktu dia menikah. Sedih, karena ibu kandungnya ditempatkan duduk dengan para ART, bukan di pelaminan keluarga. Ihiks..

Mungkin terlalu banyak aspek kehidupan Kartini yang kalo semuanya dimasukin ke dalam film bisa-bisa bikin durasinya molor jadi 6 jam kali yaa. Tapi menurut gw sih Hanung Bramantyo did a good job. Akting Dian Sastrowardoyo bisa dibilang yaa oke aja sih, tapi surprisingly Ayushita yang berhasil bikin gw nangis tersedu-sedu.

Kartini ini sangat beruntung, dia lahir di keluarga bangsawan, punya kesempatan sekolah (walaupun cuma sampai umur 12 tahun), bisa baca tulis dan bahasa Belanda. Kasiannya cuma dua: dia dipingit bertahun-tahun dan pada akhirnya dipaksa nikah sama laki-laki yang bukan pilihannya. Berkat kesukaannya membaca dan menulis, dia bisa ber-sahabat pena sama orang Belanda, bikin sekolah, dan memajukan industri ukiran khas Jepara. 

Di film ini digambarkan orang Belanda pada jaman itu sangat baiiikk banget sama Kartini dan keluarganya. Bukannya mereka penjajah ya? Dan sempet tersirat juga di pikiran gw "Kartini ini lugu dan polos banget apa ya sampe kayaknya lupa kalo Belanda saat itu menjajah kita". Diceritakan seolah-olah orang2 Belanda lah yang paling mengerti aspirasi Kartini, yang bisa kasih beasiswa, yang bisa menginspirasi beliau, bahkan bisa menyelamatkan Kartini dari tradisi pingitan.

Terus gw juga bertanya-tanya, karakter Kartini, Roekmini dan Kardinah ini referensinya dari mana? Kalo diliat di internet sih nggak banyak sumber yg cerita tentang Kartini secara mendalam, selain dari kumpulan tulisan dia yang kemudian dibukukan jadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Waktu mau menikah, dia juga mengajukan beberapa syarat ke calon suami lewat orang tua nya, tapi gw belum pernah baca soal itu juga. Yang ditulis di kebanyakan artikel adalah, suaminya Kartini ini sangat mendukung cita-cita dia mendidik anak bangsa (terutama perempuan), tapi nggak pernah disebutkan kalo itu adalah bagian dari syarat Kartini sebelum menikah. Raden Adipati Joyodiningrat juga diceritakan punya (almarhumah) istri yang mengidolakan Kartini dan berharap suatu hari anak-anak mereka bisa dididik dan dirawat sama Kartini. Ini bagian dari sejarah atau hanya 'bumbu' drama, gw kurang tau sih. Mungkin ada di salah satu surat yang dibukukan tadi?

Yang jelas, habis nonton film ini gw jadi pengen baca bukunya, pengen tau detail nya gimana. Tapi terus gw inget! Awalnya yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya buku kan orang Belanda ya (JH Abendanon), pantesan ajaaa di cerita2 Kartini ini kok Belanda dibagus-bagusin banget, betul2 tak tercela. Apakah ada unsur hiperbola nya Abendanon disitu? Mungkin pada saat itu emang Belanda nggak keji-keji amat sama bangsa kita, tapi kan teteep aja mereka itu penjajah. Sampai sekarang gw belum ngerti apakah film ini 100% menceritakan sejarah, ataukah masih banyak dibumbui drama biar lebih menarik? Kalo iya, seberapa banyak fakta vs fiksi yang ditampilkan? Membumbui cerita sejarah pake drama fiksi sih oke-oke aja, namanya juga film dibikin untuk menghibur penonton kan. Tapi bakal lebih asik aja kalo kita tau bagian mana yg fakta, bagian mana yang bukan. Ya makanya baca bukunya doong...

Terlepas dari beberapa hal yang cukup mengherankan diatas, film ini meyakinkan gw bahwa niat Kartini adalah baik. Perjuangan nya pantas di acknowledge. Dia memanfaatkan semua privilege yang dia punya untuk memajukan orang lain, membangun generasi perempuan yang lebih cerdas. Dan gw juga sangat yakin, pada jaman itu nggak ada niatan beliau untuk ingin dikenang/dijadikan pahlawan nasional di kemudian hari. Pokoknya niatnya cuma pengen perempuan maju aja, jangan melulu terbelenggu di balik pintu pingitan *ciyee..*. Usianya masih muda banget lhooo, beliau meninggal kan umur 25 setelah melahirkan anaknya. Berarti masa-masa perjuangannya itu terjadi waktu dia umur 12-25. Umur segitu, gw masih ngapain ya? Masih cetek lah pikirannya mikirin diri sendiri aja.

Semoga yaa, perempuan2 Indonesia jaman sekarang juga semakin maju pikirannya. At least semakin pintar membedakan mana berita benar dan mana berita hoax dulu deh. Dan yang jelas, memilih untuk jadi stay at home mum itu bukan berarti tidak maju pikirannya lho. Namanya aja 'memilih'. Bersyukur sekali kita hidup di jaman sekarang dimana perempuan sudah bebas menentukan antara mau bekerja atau jadi ibu rumah tangga sesuai kemauan masing-masing, tanpa ada unsur 'terpaksa'. Cium sayang dan semangat untuk semua perempuan2 hebat di jaman milenial :))

2 comments:

  1. gak sempet nonton filmnya padahal bagus ya kata2nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bagus Mba Nonii, kalo di aku sih nggak ada kata2 yang nyantol sampe sekarang, tapi malah adegan2 nya yg lebih mudah diinget hehehe..

      Delete